PROBOLINGGO.Mediakurat.com- Paguyuban wali murid atau siswa di sekolah sejatinya merupakan upaya untuk merekatkan para orang tua siswa untuk berpartisipasi dalam kemajuan pendidikan. Bersama mengawasi perkembangan dan kemajuan pendidikan anak dan juga sebagai pengawas eksternal untuk mencegah potensi maladministrasi di sekolah atau lembaga pendidikan.
Paguyuban mestinya menjadi wadah kontrol sosial, menjembati kesenjangan yang kian jauh, gotong royongnya masyarakat, dalam memberi masukan positif bagi pendidikan serta teladan dalam semangat menegakan amar maruf nahi mungkar.
Namun sayangnya, Paguyuban di sejumlah sekolah dalam beberapa tahun terakhir telah bermetamorfosis untuk menjadi pintu utama terjadinya berbagai pungutan Liar. Seperti halnya yang terjadi di SDN Banyuanyar kidul Kecamatan Banyuanyar Kabupaten Probolinggo. Yang akhirnya kegiatan yang dilakukan oleh paguyuban tersebut kembali mencoreng wajah pendidikan yang khitoh-nya seharusnya menjadi sumber nilai kejujuran, etika, keadilan, dan kebajikan.
Ditemukan di berbagai lembaga pendidikan, berbagai manuver oleh oknum Paguyuban terjadi. Biasanya, Para pengelola atau pengurus utama Paguyuban merupakan para orangtua yang memiliki kemampuan finansial yang cukup, pejabat/tokoh, serta punya pengaruh komunikasi dengan sekolah, bahkan beberapa diantaranya adalah kerabat atau teman dekat kepala/guru di sekolah tersebut.
Di SDN Banyuanyar kidul Kecamatan Banyuanyar Kabupaten Probolinggo sendiri dalam beberapa tahun terakhir, Paguyuban telah memberlakukan terhadap setiap siswa atau wali murid di masing masing kelas untuk membayar iuran dengan besaran Rp.15.000 dalam setiap bulannya. Dan apabila dalam setiap bulannya mereka tidak mampu membayar maka akan terhitung hutang dan harus dibayar double di bulan berikutnya lantaran disebut tunggakan.
Ditemui di ruang kerjanya, Kepala sekolah SDN Banyuanyar kidul Sarwo Edhie Wibowo membenarkan hal tersebut. Dan dirinya mengklaim bahwa hasil dari uang iuran yang sifatnya wajib tersebut dipergunakan untuk berbagai kegiatan yang ada di sekolah nya.
“Iuran tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan sekolah. Seperti jika ada kegiatan Drum Band, acara perpisahan, santunan terhadap siswa-siswi nya jika ada yang sakit, dan lain sebagainya. Dan itu bukan pihak sekolah melainkan Paguyuban,” Jelas Sarwo Edhie.
Disinggung keterlibatannya, dirinya sebatas mengetahui saja dengan adanya kegiatan transaksi tersebut. Sarwo Edhie Wibowo selaku kepala sekolah juga menyayangkan ketika ini di permasalahkan, lantaran kegiatan ini sudah berjalan bukan di tahun ini saja, melainkan sejak beberapa tahun silam.
“Terkait iuran oleh paguyuban, saya tau. Tapi kok baru sekarang dipermasalahkan, toh ini sudah lama diberlakukan. Dan itu sekali lagi saya tegaskan bukan dikelola pihak sekolah, melainkan pihak paguyuban sekolah,” jelas kepala sekolah SDN Banyuanyar kidul Kecamatan Banyuanyar Kabupaten Probolinggo Sarwo Edhie Wibowo.
Hal senada juga di ungkapkan oleh Ketua PGRI Kabupaten Probolinggo H. Hasyim Asy’ari. Menurutnya, jika hal tersebut di atas namakan paguyuban maka diperbolehkan, Dengan syarat di program dan penggunaan uang pengumpulan iuran tersebut dapat dipertanggungjawabkan dengan jelas.
“Yang jelas digunakan untuk yang tidak dianggarkan dalam Dana BOS dan tidak boleh double accounting. Setelah saya konfirmasi, Menurut beberapa pengurus, iuran itu sudah lama berjalan, bahkan sejak kepala sekolah yang lama, cek saja pertanggungjawabannya,” Jelas H. Hasyim Asy’ari.
Menanggapi adanya praktek iuran oleh paguyuban sekolah yang terjadi di SDN Banyuanyar kidul Kecamatan Banyuanyar, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Probolinggo, Dwijoko Nurjayadi telah menginstruksikan kepada Pihak Kepala Sekolah untuk menghentikan adanya iuran oleh paguyuban di sekolah. Dan memerintahkan kepada pihak Paguyuban untuk segera mengembalikan seluruh hasil iuran terhadap seluruh wali murid yang ada di SDN Banyuanyar kidul Kecamatan Banyuanyar.
“Saya sudah menginstruksikan kepala sekolah untuk segera mengembalikan uang hasil iuran oleh paguyuban terhadap seluruh wali murid, dan saya telah menghimbau untuk menghentikan adanya iuran tersebut. Jika hal itu tidak dilakukan, berarti kepala sekolah tidak mengindahkan saya selaku kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Probolinggo. Dan saya akan kembali memanggil yang bersangkutan,” Jelas Dwijoko Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Probolinggo.
Sering ditemui oleh Tim media adanya paguyuban, biasanya bermula dari inisiatif sendiri atau yang paling banyak permintaan sekolah untuk meningkatkan sejumlah fasilitas: mulai dari ruang belajar, tempat ibadah, persetujuan pembelian LKS, kalender sekolah, seragam sekolah, biaya perpisahan di tempat mahal, tambahan biaya les guru di sekolah, sumbangan untuk guru/wali kelas dan dwngan modus lainnya.
Seperti yang diterima oleh salah satu wali kelas 1 SDN Banyuanyar kidul atas nama Dini Agustiningsih. Dirinya mengakui bahwa saat kenaikan kelas dirinya menerima uang tali asih dengan besaran Rp. 300.000 dari hasil uang paguyuban.
“Saya menolak uang tersebut, namun mereka paksa untuk diterima. Jadi saya terima uang tersebut dengan besaran nominal Rp.300.000, saat itu.” Jelas Dini Agustiningsih.
Demi kemajuan anak-anak mereka serta dorongan sekolah untuk partisipasi pendidikan, para orangtua melalui pengurus paguyuban berinisiasi mengelola sumbangan. Sekali lagi niat awal untuk membantu sekolah.
Akhirnya dibuat suatu grup antar mereka (biasanya per kelas/per angkatan), dan disebarkan bahwa diperlukan biaya sumbangan sebesar sekian dengan batas waktu dan jumlah yang telah di tetapkan serta di kumpulkan ke salah satu orang pengurus. Lagi-lagi dalilnya demi membantu sekolah.
Faktanya ada sebagian besar orangtua dari kalangan kurang mampu, tapi mereka hanya bisa diam atau hanya bisa pasrah. Padahal hati mereka menolak, tidak ikhlas. Namun karena unsur psikologis dan beban mental yang tak bisa di ungkapkan akhirnya orangtua yang kurang mampu ini setuju walau sebenarnya sangat berat.
Tim media juga sering menemukan ada juga pengurus Paguyuban dari unsur ibu-ibu sosialita, yang senang kumpul-kumpul di sekolah atau jalan-jalan selagi anak mereka jam belajar.
Uniknya, para ibu sosialita ini dengan segala kelebihannya mengakomodir sumbangan tersebut untuk perpisahan, dan biaya jasa guru dengan nilai jumlah dan waktu yang ditentukan. Para orang tua lain pun terpaksa ikut, pasrah, meski hati menolak. Tapi terlanjur karena takut dan khawatir apabila berdampak pada psikologi anak anak mereka.
Para orang tua yang kurang mampu inilah yang biasanya datang konsultasi terhadap siapa yang mereka anggap mampu dan mengerti terkait aturan yang ada. Seakan mereka tertekan, bingung dan beberapa menangis karena tak tahu cara keluar atau solusi atas problem ini.
Perlu diketahui bersama, paguyuban bukan komite sekolah, tapi fungsinya seolah sama dengan sekolah. Terkait hal tersebut, telah di atur di Permendikbud No. 44 Tahun 2012 dan Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, berikut aturan, larangan, dan sanksi tentang pungutan dan sumbangan pendidikan yang ada. (Red/)